Air Mata Rasulullah SAW

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

“Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” – “Umatku, umatku, umatku”. Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Sadarlah wahai saudaraku untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita.

Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin…

Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu diakhirat. (Oleh Senopati Revolt)

Menjadikan Tim Dakwah Tetap Berada dalam Kondisi Semangat Beraktifitas

Bagaimana menjadikan tim dakwah kampus tetap berada dalam kondisi semangat dalam aktivitas dakwah?

Jawab.

Kondisi sebuah tim organisasi kinerja tergantung dari mood dan semangat tim. Kondisi pasti tidak dapat dihindari. Maklum, setiap individu mempunyai kepentingan masing-masing yang seringkali menganggu aktivitas tim dakwah kampus. Lantas bagaimana melakukan refresh dakwah agar tetap terjaga dalam kondisi semangat. Ada beberapa kiat agar kondisi semangat tim dalam tahapan tetap on-fire.

1. Melakukan pertemuan Rutin

Pertemuan rutin anggota dakwah kampus bisa menjadi hal positif dalam menjaga aktivitas dakwah kampus tetap terjaga. Supaya kondisi pertemuan rutin tidak merasa membosankan sebaiknya setiap pertemuan ada beberapa pertemuan dibuat hal yang berbeda. Bisa saja pertemuan dilakukan sambil melakukan jalan-jalan, pertemuan di ruang terbuka, di kantin, atau sambil; mengadakan jamuan makan bersama. Di dalam pertemuan itu hendaknya setiap orang atau setidaknya diantara mereka memberikan kultum berupa nafsiyyah atau ajakan untuk tetap mengingat aktivitas dakwah.

2. SMS Dakwah dan Motivasi

Penting juga menjaga aktivitas dakwah dengan satu sama lain memberikan SMS seputar dakwah dan motivasi. Fungsinya untuk mengingatkan tentang aktivitas dakwah. Bisa juga saling memberikan pertanyaan tentang aktivitas apa yang akan dilakukan hari ini. Malamnya juga bisa memberikan kembali sms dakwah dan motivasi. Ini untuk menjaga dan mengevaluasi rutin aktivitas harian agar tetap stabil dan bernilai positif.

3. Saling Berkunjung

Ya penting ada kalanya antar aktivis dakwah kampus berkunjung satu sama lainnya. Bahkan bila diperlukan menginap. Ya tentu dengan pandangan syar’i. Ya ini bisa jadi menjadi pemacu dan pengingat satu sama lain untuk terus berupaya menyebarkan semangat positif dan dakwah di antara tim kerja.

4. Mabit Bersama

Mabit atau biasa dikenal dengan Malam bina iman dan taqwa juga bagus dilakukan. Maklum, di mabit ini kita dapat menambah nilai dan kepercayaan diri untuk tetap berada dalam lingkaran dakwah. Jadi, dalam melakukan mabit juga, jangan dianggap sepele. Bila perlu anda tim khusus untuk meracik mabit sedemikian rupa, agar peserta menjadi bertambah semangat dan mau ikut serta bergabung.

5. Buat Suasana Baru

Ada kalanya, aktivis dakwah jenuh dengan suasana dan lingkungan tempat tim berada. Maka, buatlah suasana dan kegiatan-kegiatan bar udan beraneka ragam. Ini dilakukan agar dakwah tidak terasa membosankan dan bersifat stagnan.

Mungkin itu saja, ya ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan dan dikembangkan. Syaratnya Cuma kita mau melakukan perubahan dan pergerakan. (Ibnu Abdu Rahman, Ketua LDK DKM UNPAD)

SBI, Liberalisasi Pendidikan di Sekolah

Program Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) merupakan upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Sesuai amanat Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah dan pemda menyelenggarakan minimal satu satuan pendidikan di semua jenjang untuk dikembangkan menjadi bertaraf internasional. Syaratnya minimal satu di setiap daerah. Namun, program ini dinilai cenderung sudah menyimpang ke arah komersialisasi pendidikan.

Kementerian Pendidikan Nasional seharusnya lebih memperketat standar yang diterapkan untuk menaikkan sekolah menjadi SBI. Dengan fasilitas seadanya dan sumber daya manusia (SDM) yang belum memenuhi kualifikasi, RSBI itu justru sulit meningkatkan mutu layanan pendidikannya. Yang terjadi adalah kekurangan fasilitas ini menjadi alasan bagi sekolah untuk mengeruk uang dari wali siswa. Sebab, pemda tidak memiliki dana untuk mendukung keberadaan SBI.

Mengutip Ketua Dewan Pembina The Centre for the Betterment of Education (CBE) Ahmad Rizali, meskipun SBI diamanatkan oleh UU 20/2003 tentang Sisdiknas yang mewajibkan setiap kabupaten/kota mengembangkan sedikitnya satu SBI, di setiap jenjang pendidikan, di tataran kebijakan tidak jelas arahnya. Penggunaan standar negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada SBI menunjukkan indikasi kebenaran dugaan bahwa impor pendidikan semakin memantapkan kecurigaan terjadinya liberalisasi pendidikan dan pendidikan sudah menjadi sebuah komoditas yang diperdagangkan

“Untuk meraih predikat SBI terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sekolah agar bisa berstandar internasional. Di antaranya adalah bilingual, memiliki fasilitas yang mumpuni seperti laboratorium, dan partnership dengan kegiatan internasional. Namun dalam perjalanannya, SBI cenderung marketable. Akhirnya sebelum proses itu dicapai, tiba-tiba ada sekolah yang mengaku sudah berstandar internasional.” Hal itu dikatakan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., di Bandung, Senin (25/1).

Menurut dia, hal itu bisa jadi disebabkan karena proses sekolah untuk menjadi standar internasional tersebut cenderung sangat mudah. Untuk itu, dia mendukung bila ada SBI yang diturunkan levelnya karena tidak mampu mempertahankan mutu. Hal itu dilakukan untuk mencegah adanya penyalahgunaan sekolah sebagai ajang bisnis. Sementara itu, Ketua Lembaga Advokasi Pendidikan Kota Bandung Dan Satriana mengatakan, pendekatan SBI sebaiknya memang dilakukan oleh swasta. Sementara pemerintah, sebaiknya fokus untuk memberikan layanan pada masyarakat dengan memberikan layanan pendidikan yang memenuhi standar minimum. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.Dengan adanya penerapan SBI, kata Dan, pemerintah dinilai sudah melalukan diskriminasi layanan publik tersebut, bahkan diskriminasi tersebut tidak hanya terjadi antar sekolah, melainkan juga antar kelas. Pasalnya, dalam SBI kebanyakan yang berstandar internasional hanya sebagian kelas saja.

Program RSBI memang berimplikasi pada biaya operasional untuk penyelenggaraan pendidikan yang lebih mahal dibandingkan dengan sekolah-sekolah biasa, RSBI dituntut untuk memiliki kelengkapan sarana dan prasarana, misalnya LCD untuk setiap kelas dan sebagainya. Hal ini akan mempengaruhi sisi psikologis siswa yang kurang mampu namun memiliki prestasi untuk mendaftar di sekolah setingkat RSBI. Selain itu, sekolah setingkat RSBI hanya memfokuskan terhadap pembelajaran yang bertumpu pada kecerdasan siswa di bidang akademik. Bentuk kecerdasan-kecerdasan lain seperti kecerdasan emosional dan spiritual juga harus diperhatikan untuk mengimbangi kecerdasan di bidang akademik.

Yang menarik dari berbagai ketimpangan program RSBI adalah keharusan proses belajar mengajar menggunakan bahasa inggris. Sudah dapat dimaklumi, betapa bahasa Inggris menjadi kerumitan tersendiri dalam proses belajar-mengajar. Semisal, kemampuan bahasa Inggris guru yang mengajar di kelas minim, bahkan terkadang lebih mahir siswanya. Belum mengenai content (materi pelajaran) cenderung terabaikan karena pengajar dan peserta didik justru disibukkan dengan “belajar berbahasa Inggris. Jika yang diharap dari SBI adalah murid yang mengerti isi mata pelajaran sekaligus terampil menggunakan bahasa Inggris, SBI harus mencari guru yang selain mampu menguasai materi, juga mampu berbahasa Inggris. Inilah bagian yang tersulit. Guru bahasa Inggris saja masih banyak yang mengajar dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. SBI diduga merupakan program gagal yang hanya menghamburkan uang.

Pertanyaannya yang mungkin timbul di benak kita, masihkah kebijakan yang justru melebarkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya, diskriminatif, tempat meraupu keuntungan, dan tidak jelas arahnya ini akan diteruskan? Kalau kita telusuri lebih dalam, hal ini karena implikasi dari diterapkannya undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20/2003 tentang pendidikan bertaraf internasional yang anehnya sangat bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, bukan pendidikan intenasional.

Inilah bukti bukti kelemahan undang-undang atau aturan hasil buatan manusia. Padahal sebagai negara berpenduduk muslim mayoritas yang mengakui Islam sebagai agama yang sempurna, maka sudah sepatutnya mengambil sistem islam sebagai aturan maupun undang-undang termasuk dalam hal pendidkan. (Oleh Ibnu Azis, BKIM IPB)

Mahasiswa Indonesia, Dulu dan Sekarang

Kuliah bukan sebuah tujuan utama, maka jangan sampai menjadi prioritas yang mengabaikan banyak ilmu yang berkeliaran di luar. (Chio, Jangan Sadarin Mahasiswa)

Kaum intelektual pemuda, pelajar dan mahasiswa merupakan salah satu harapan terjadinya kebangkitan umat. Setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya. Mahasiswa, menurut Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Perubahan Sosial”, adalah the one and only efficient opposant in the world (satu-satunya pengemban amanah oposan yang paling efisien didunia). Kenapa demikian? Sebab, mahasiswa memiliki idealisme tinggi, semangat merealisasikan tujuan perjuangan serta punya kesiapan dan pengorbanan untuk mewujudkannya. Jika semua ini lekat dalam seorang mahasiswa, dialah mahasiswa sejati.

Mahasiswa yang lahir dan tumbuh dalam situasi bangsa yang tenang, aman terkendali, penuh ketentraman dan kemakmuran ternyata banyak melahirkan mahasiswa yang aktifitasnya lebih tertuju kepada konsumtif, egoisme dan individualis. Akhirnya, tipe mahasiswa seperti ini cenderung apatis dan pasif atas dinamika sosial yang terjadi.

Selanjutnya, lahir pula mahasiswa yang tumbuh dalam situasi bangsa yang keras dan penuh gejolak. Kondisi bangsa saat itu diwarnai berbagai upaya untuk mengembalikan hak-hak yang dirampas, kemerdekaan yang terancam, dan kehormatan yang hilang. Kondisi ini terjadi ketika kemerdekaan baru saja diraih Indonesia. Sekitar tahun 60-an. Walau jumlah kampus masih sangat sedikit, dunia kampus kala itu, tidak hanya bermutu secara intelektual mahasiswa, tapi juga melahirkan mahasiswa bermutu dari sisi semangat bergerak dan berjuang. Mahasiswa yang ada bukanlah generasi mahasiswa yang berjuang karena azas manfaat dan pragmatis. Mahasiswa yang lahir era 60-an ialah generasi mahasiswa yang paham betul tuntutan masyarakat. Bergerak dalam pergerakan demi terpenuhnya hak-hak rakyat yang tertindas penguasa tirani. Berjuang dengan terus mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Perlu diingat, walau mereka aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa, dalam perkuliahan mereka benar-benar mendapatkan ilmu sesuai bidangnya. Namun, ilmu yang dipelajari tersebut bukan hanya ditujukan untuk mendapat nilai dan IPK besar. Sangat hebat dan kuat kondisi mahasiswa ‘tempoe doeloe’. Tidak cukup hanya dengan kuliah dan aktif dalam pergerakan. Mereka juga rela kuliah sambil kerja kasar untuk membiayai kuliahnya, demi kelangsungan hidup mereka dan keluarganya.

Perjuangan gigih yang mereka lakukan justru tidak sekedar mencetak otak yang cerdas untuk masalah akademik. Tapi juga cerdas dalam mengarungi kehidupan. Mereka bersentuhan langsung dengan realita yang penuh warna. Warna putih, hitam bahkan abu-abu. Semua warna mencirikan berbagai realita yang menghantui otak-otak mahasiswa. Sayang, tidak sedikit mahasiswa yang memilih hidup dengan warna yang tepat. Karena kondisi bangsa yang carut marut, mereka terbuai oleh rayuan parpol. Mereka termakan godaan jabatan dan harta. Hasilnya apa? Ketika rezim buruk diganti dengan rezim baru yang dianggap bagus, ternyata malah melahirkan rezim yang tak berbeda jauh keburukannya. Jangankan membela ideologi Islam, rezim yang ada tampak berdarah dingin. Secara halus menjual kekayaan SDA dan SDM negeri ini demi kepentingan kapitalis.

Sekitar tahun 80-an. Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, aktivitas politik dalam negeri dibungkam habis oleh rezim. Tak terkecuali mahasiswa. Gejolak semangat mahasiswa terpenjara oleh aturan dan kebijakan penguasa. Alhasil, gerakan underground dipilih mahasiswa sebagai jalan terakhir merentas perubahan. Akhirnya, perjuangan meraih hak-hak kebebasan mencapai puncaknya pada tahun 1998. Rezim kedua yang berumur 30 tahun berhasil ditumbangkan oleh ‘mahasiswa’. Namun, sejarah kembali terulang. Tuntutan mahasiswa untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik menjadi mimpi di siang bolong. Meskipun aktivis saat itu tergolong berasal dari gerakan Islam justru perjuangan yang mereka lakukan masih kabur dan tidak berani. Sistem yang dipakai tetaplah sistem buatan manusia. Ideologi kapitalisme. Rezim yang dipilih pun bukanlah rezim yang menjalankan syariat Islam seutuhnya. Hasilnya, semangat reformasi kembali ditunggangi politikus pragmatis, kapitalis dan narsis.

Kini, dunia mahasiswa juga dipenuhi realita yang buruk sekali. Mahasiswa yang sebenarnya kritis dipaksa ‘tidur’. Mahasiswa yang tahu betul dengan kebobrokan rezim dan sistem negeri ini dipenjarakan dengan berbagai kebijakan. Mahasiswa yang paham bahwa Islam satu-satunya ideologi yang wajib diadopsi negara justru diopinikan dengan label-label negatif. Intinya, segala kebijakan dibuat agar kebebasan mahasiswa untuk ‘melawan’ lewat kendaraan organisasi-organisasi tertutpup rapat. Semua ini dilakukan karena penguasa sadar bahwa semangat mahasiswa dapat membahayakan kelanggengan rezim dan sistem yang ada selama ini. Mahasiswa sekarang ‘dipaksa’ untuk hanya menyibukan diri mengejar prestasi akademik lewat IPK yang besar, dipaksa untuk cepat tamat kuliah, ‘dipaksa’ untuk menolak ajakan aksi koreksi atas kebijakan penguasa apalagi jika diajak untuk mengikuti kegiatan Islam, ‘dipaksa’ untuk tidak melek politik apalagi ngomong politik. Kini, mahasiswa disuap oleh materi-materi sekuler yang lahir dari kurikulum yang sekuler pula. Alhasil, akibat bodohnya otak mahasiswa sekarang, banyak mahasiswa bangga hanya karena diiming-iming bekerja diperusahaan asing, mendapatkan beasiswa ke luar negeri –padahal itu (tidak semua) merupakan salah satu strategi brain wash-, bangga gaji besar, dan bangga ‘dibeli’ oleh partai politik dan sebagainya.

Beginilah kondisi mahasiswa sekarang. Mulai dari sistem hingga produk sistem sama rusaknya. Sehingga, sangatlah tepat jika berdakwah menjadi satu-satunya pilihan aktivis dakwah kampus. Tiada lain dengan cara memberikan warna berbeda di kampus. Yang dilakukan bukan untuk mengisi waktu kosong. Tapi dilakukan karena mengerti bahwa solusi terbaik menyelesaikan kondisi mahasiswa sekarang hanyalah dengan melakukan gerakan ‘dakwah kampus’ Mengapa harus diperbaiki? Sebab, posisi mahasiswa menjadi potensi terpendam dalam merespon setiap perkembangan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Dalam kilasan sejarah, baik pada scope nasional, regional dan internasional urgensi dan daya dobrak yang luar biasa dari mahasiswa sudah menjadi bukti yang cukup membuat orang-orang yang meremehkan potensi mahasiswa akan berpikir beberapa kali sebelum melakukan tindakan konfrontasi dengan mereka. Segala perubahan hanya terjadi lewat tangan-tangan mahasiswa!

Terlepas dari fakta sejarah diatas, setiap generasi menuntut peran yang berbeda dari mahasiswa. Setiap masa ada pejuang dan pemenangnya masing-masing. Setiap era dengan berbagai realitanya akan membagi kelompok mahasiswa, menjadi biasa atau mahasiswa luar biasa. Setiap zaman akan ada pembagian, menjadi pemain ataukah penonton. Menjadi aktivis dakwah kampus atau objek dakwah kampus? Sungguh, mereka adalah anak zaman yang senantiasa mampu menyesuaikan peran yang harus diembannya, bahkan peran yang sulit sekalipun.

“Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka”

(Q.S.Al-Kahfi : 13)

Kebangkitan Yang Hakiki Dalam Pandangan Islam*

Mingggu yang lalu saya sudah membuat tulisan tentang “Sistem Pendidikan Dalam Islam” hal itu berkaitan dengan HARDIKNAS pada tanggal 02 Mei yang lalu, kali ini saya akan mengajak seluruh komponen kampus untuk memahami makna Kebangkitan yang hakiki seperti apa dalam pandangan Islam? hal ini berkaitan dengan peringatan Hari Kebangkitan pada tanggal 20 Mei 2010.

Pada bulan mei, Rakyat Indonesia diingatkan pada dua moment sejarah yang sangat penting. Dua moment tersebut adalah ; Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati tanggal 02 mei kemarin dan tanggal 20 mei beberapa hari yang lalu adalah Hari Kebangkitan Nasional (Hartiknas). Hal ini di dasari oleh sebab berdirinya Boedi utomo (BU). Sebuah organisasi yang di gagas oleh para mahasiswa STOVIA di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Konon organisasi ini merupakan tonggak baru perlawanan terhadap penjajah. Pendidikan dan kebangkitan memiliki peran strategis yang saling terkait satu sama lain, pasalnya pendidikan yang berkualitas dan bisa men-output generasi cerdas dan berjiwa pemimpin akan menghantarkan kebangkitan kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Kebangkitan pastinya akan mengantarkan kita pada pendidikan yang gemilang. Hari Kebangkitan Nasional yang selalu dipelopori oleh budi oetomo (20 mei 1908) hingga saat ini sudah 102 tahun berlalu. Selama 102 tahun Indonesia hanya berhalusinasi dengan kebangkitan yang semu.

Pada faktanya jika kita mau sedikit berpikir, kehidupan kenegaraan dan nasib rakyat kita malah makin terpuruk dari berbagai bidang. Menyadari saat ini Indonesia memang sedang dalam keadaan yang kritis sehingga menejemen atau pengaturan kebutuhan rakyat ini kacau. Banyak julukan “seram” untuk negri tercinta kita, mulai dari failed state (negara gagal), Vampire state (negara drakula penghisap darah rakyat), negara boneka dll. Timbul pertanyaan apakah kita memang sudah bangkit?

Dalam bidang pendidikan, Berdasarkan peringkat universitas terbaik di Asia versi majalah Asiaweek 2000, tidak satu pun perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik. UI berada di peringkat 61 untuk kategori universitas multidisiplin. UGM diperingkat 68, UNDIP diperingkat 77, UNAIR diperingkat 75; sedangkan ITB diperingkat 21 untuk universitas sains dan teknologi, kalah dibandingkan dengan Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pakistan.

Kondisi dunia pendidikan di negeri ini boleh dikatakan makin memburuk. Terakhir, hal ini ditandai oleh banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN). Bahkan menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional, tahun 2010 ini sebanyak 267 sekolah tingkat SMA di seluruh Indonesia, 100% siswanya tidak lulus UN (Republika.co.id, 28/4). Di tingkat SMP kondisinya lebih parah lagi; sebanyak 561 SMP/MTs di seluruh Indonesia, 100% siswanya juga dinyatakan tidak lulus UN (Detik.com, 5/5). Kenyataan ini belum ditambah dengan makin mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, puluhan juta orang miskin tidak dapat sekolah.

Walaupun angka partisipasi murni SD di Indonesia dalam kurun 20 tahun meningkat dari 40 menjadi 100 persen, kualitasnya sulit dibanggakan. Kini puluhan ribu anak SD harus belajar di sekolah bobrok. Ironinya, sampai saat ini belum terjawab, bagaimana Pemerintah menangani persoalan yang sangat kasatmata itu; sementara masih banyak anak usia SD yang putus sekolah atau malah belum terjangkau sama sekali oleh pelayanan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun secara kuantitatif pun sulit bisa dituntaskan pada tahun 2008.

Menjadi bangsa yang kuat, mandiri dan maju merupakan cita-cita dari setiap bangsa manapun, salah stau faktor yang mendukung bagi power of state adalah pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa tersebut maju atau mundur salah satunya dari pendidikan yang diterapkan. Pendidikan merupakan proses kristalisasi mencetak generasi penerus bangsa, output yang diharapkanpun adalah melahirkan manusia-manusia cerdas baik secara intelektual dan spiritual.

Sudah 102 tahun negeri kita memperingati hari kebangkitan, namun apa yang kita rasakan dan saksikan di depan mata kepala kita saat ini, yang ada hanyalah kebangkitan yang semu saja artinya tidak tampak bahkan dimaknai hanya sebatas acara serimonial setelah itu hilang. Tidak banyak orang yang paham tentang makna kebangkitan itu sendiri oleh karena itu wajar kalau bangsa kita tidak akan pernah bangkit dan maju sampai kapanpun. Oleh karena itu kami dari Lembaga Dakwah Kampus Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (LDK STKIP) Kampus Purwakarta mengajak seluruh komponen kampus (pimpinan, Staf Tata Usaha, Dosen, Ormawa, Mahasiswa, Dll) untuk memahami makna kebangkitan yang hakiki dalam pandangan Islam.

Dalam kitab Nizhomul Islam (peraturan hidup dalam Islam) karangan Syaikh Taqiuddin An-Nabhani seorang ulama, pemikir, politisi ulung, dan hakim Pengadilan Banding di al-Quds (Yerusalem). Dijelaskan bahwa makna kebangkitan atau bangkitnya seseorang/suatu bangsa tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan, dan sesudah kehidupan dunia. Agar manusia/ suatu bangsa mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia/suatu bangsa saat ini. Sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini sesuai mafahim (persepsi)-nya terhadap kehidupan. Dengan demikian, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia/suatu bangsa yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mafhum-nya (pemahaman) terlebih dahulu. Sebagaimana Firman Allah SWT:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. Ar-Ra’d:11)

Memaknai arti kebangkitan tentu tidak boleh berbeda, harus ada kaidah atau standar ketika kita memaknai arti kebangkitan. Kebangkitan juga didefinisikan sebagai tingginya taraf berpikir dan untuk mewujudkan sebuah kebangkitan diperlukan adanya upaya menanamkan pemikiran-pemikiran yang tinggi yaitu pemikiran-pemikiran yang menyeluruh mengenai aspek ekonomi, sosial, pendidikan, politik dll. Pemikiran tersebut harus dilandai dari Aqidah Islam sebagai keyakinan dan pemecah setiap masalah kehidupan. Dan untuk mewujudkan kebangkitan pertama yang mesti kita lakukan adalah ; melakukan perubahan secara aktif, Indonesia sebagai negeri mayoritas umat islam terbesar seharusnya menjadi lakon dari perubahan ini, caranya adalah dengan berdakwah. Dakwah secara individu dan kolektif dilakukan oleh setiap individu yang telah baligh. Dakwah yang mengajak kepada perubahan yang hakiki yakni melanjutkan kembali kehidupan islam. Kedua, perubahan diawali dengan apa yang ada dalam diri umat yakni pemikiran, perasaan dan sistem (aturan).

Agar Indonesia mampu bangkit, agenda mendesak yang harus dilakukan adalah mensosialisasikan Islam secara masif, sehingga tumbuh kesadaran di tengah-tengah umat bahwa Islam-lah satu-satunya solusi yang shahih bagi semua problematika yang ada. Jadi kebangkitan yang hakiki adalah kebangkitan yang dilandaskan dengan Islam bukan yang lain, hanya dengan Islam-lah Negeri kita bisa bangkit ke arah yang lebih baik, Tanpa Islam bangsa ini akan makin tepuruk dan tidak akan pernah bangkit dan maju sampai kapanpun.

Sistem pendidikan saat ini (sekuleristik, red) telah “berkontribusi” dalam gagalnya upaya untuk membangkitkan Indonesia. Oleh karena itu sistem pendidikan Islam satu-satunya jalan untuk mencerdaskan ummat karena pendidikan dalam Islam akan mampu menghantarkan Indonesia kepada kebangkitan. Tujuan umum pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam, membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami. Mempersiapkan generasi muslim menjadi ‘ulama yang ahli disetiap aspek kehidupan baik ‘ilmu Islam maupun ilmu terapan (sains dan teknologi). Metode belajar dalam Islam adalah ilmu untuk diamalkan. Kurikulum yang berbasis aqidah Islam, dan peran negara dalam memudahkan setiap elemen untuk menerima mendapatkan pendidikan serta membiayai pendidikan dengan fasilitas yang memadai dan berkualitas, sehingga tercipta sumber daya manusia (SDM) yang cerdas dan berintelektual tinggi.

Wahai mahasiswa sebagai Agent Of Change dan kaum intelektual, sudah saatnya kita bangkit dengan kebangkitan yang hakiki yakni dengan Islam, hanya dengan Islam Negeri yang kita cintai ini akan sejahtera, pendidikan akan merata ke semua warga negara Indonesia baik muslim maupun non muslim tidak hanya pada kalangan/orang yang mampu saja sedangkan yang miskin dilarang cerdas karena biaya pendidikan yang mahal, perekonomian akan mampu mensejahterakan rakyat, peradilan akan jalan sesuai dengan aturan Allah SWT tidak berat sebelah dalam artian ibarat pisau tajam ke bawah tumpul ke atas seperti yang terjadi saat ini (orang yang tidak mampu di adili sampai tuntas ketika melakukan tindakan kriminal, sedangkan pejabat/orang yang memiliki kekuasaan ketika melakukan tindakan melanggar hukum prosesnya bisa lancar asalkan ada uang dan lain sebagainya bahkan bisa bebas).

semoga kita bisa meraih kembali kemuliaan sebagai Umat terbaik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam Firman-nya:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”

(QS Ali Imran ayat 110)

Ya Allah berikan kepada kami kekuatan dan keistiqomahan dalam menegakan agamamu di muka bumi ini serta senantiasa berikanlah pertolongan kepada kami, sehingga kami dapat menerapkan aturan-Mu dalam semua aspek kehidupan, ya Allah jadikanlah kami mahasiswa yang nantinya akan membawa perubahan yang mendasar kepada ummat yang akan meneruskan perjuangan para sahabat dan generasi penerus Islam. Allahuakbar!

*Penulis: Adriansah (Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus STKIP Kampus Purwakarta)

Sistem Pendidikan Dalam Islam*

Beberapa minggu yang lalu kita telah memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang bertepatan pada tanggal 02 Mei 2010, momen inilah yang senantiasa kita harapkan dan dambakan supaya pendidikan di negeri yang kita cintai ini menjadi lebih baik, namun apa yang terjadi pendidikan di negeri kita ini makin hari semakin terpuruk dan bahkan mulai dari biaya sampai kepada kurikulum pendidikannya yang tidak membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang ada akhirnya pendidikan hanya dikhususkan kepada orang yang mampu saja sedangkan orang miskin tidak bisa mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi dikarenakan biaya pendidikan yang mahal, sehingga cita-cita bangsa ini dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi sia-sia saja bahkan tidak akan pernah tercapai.

Kemerdekaan pendidikan, itulah mimpi jutaan masyarakat Indonesia. Semakin cerah dan berawan saja, tatkala UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) memetuk palu dan menyatakan bahwa UU ini inkonstitusional (tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 45). Ini merupakan hadiah gembira bagi masyarakat Indonesia dalam perayaan pendidikan 02 Mei. Namun, ini sekedar mimpi. Yang hanya menjadi bunga tidur saja. Pada kenyataannya, Pendidikan tetap mahal dan hanya milik mereka yang mampu saja. Bahkan untuk masyarakat miskin, membeli formulir ujian masuk universitas pun sepertinya mencekik kehidupan.

Ironis memang. Negeri yang memiliki nilai kekayaan yang berlimpah ternyata pendidikan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Dengan begitu jumlah mereka yang mengenyam pendidikan jauh dari angka yang diharapkan. Akibatnya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2009 bernilai 0,734 menurut laporan pembangunan manusia United Nations Development Programme (UNDP) IPM yang dibuat menempatkan Indonesia pada ranking ke 111 dari 182 negara. Ini masih kalah dengan rangking sejumlah Negara di ASEAN dan Asia seperti Malaysia (66), Singapura (23), Filipina (105), Thailand (87) dan bahkan Sri Lanka (102).

Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari kebebasan.

Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas pendidikan (sekulerisme pendidikan) tersebut, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 UU No.20/2003 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Sepintas, tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.

Ada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter peserta didik. Padahal, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter peserta didik hanya ditempatkan pada posisi yang sangat minimal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek. Minimalnya peran agama, tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 bidang mata pelajaran, dimana disana terlihat bahwa pendidikan agama tidak menjadi landasan bagi bidang pelajaran lainnya.

Hal ini berdampak pada tidak terwujudnya tujuan pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri, masyarakat, bangsa dan negara. Paradigma pendidikan sekular melahirkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Kondisi kualitas sumber daya manusia yang rendah ini memperburuk kehidupan bermasyarakat. Memang dengan pendidikan sekarang masih bisa melahirkan generasi yang ahli dalam pengetahuan sains dan teknologi, namun ini bukan merupakan prestasi, karena pendidikan seharusnya menghasilkan generasi dengan kepribadian yang unggul dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan. Buruknya kondisi kehidupan masyarakat akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia tampak pada masih banyaknya kasus tawuran, seks bebas, narkoba dan perilaku jahat lainnya yang dilakukan para peserta didik di negeri ini.

Buruknya sistem pendidikan Indonesia semakin nyata. Paradigma pendidikan yang sekuler (pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh), biaya pendidikan yang mahal, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata, standar kelulusan yang tidak merepsentasikan tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu. Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem Kapitalisme yang menjadikan sekularisme (pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh)sebagai asasnya.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa sistem pendidikan nasional yang diterapkan di negeri kita saat ini tidak akan pernah bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan bangsa seperti yang tertera dalam UU No.20/2003. Oleh karena itu sebagai mahasiswa muslim dan kaum intelektual sudah selayaknya kita kembali kepada sistem pendidikan yang akan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa kita ini yakni Sistem Pendidikan Islam, kami Lembaga Dakwah Kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (LDK STKIP) Kampus Purwakarta mengajak semua komponen kampus (Pimpinan, Staf Tata Usaha, dosen, Mahasiswa, Ormawa, dll) untuk mengetahui bagaimana Sistem Pendidikan Dalam Islam.

Pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma (kerangka berfikir) dimana Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dunia, sebelum dunia dan kehidupan setelahnya serta kaitannya (hubungan) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma Pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam, karena pendidikan Islam berpangkal pada paradigma Islam itu sendiri. Paradigma Islam merupakan sumber dari paradigma pendidikan Islam, maka mustahil membangun paradigma pendidikan Islam tanpa memperhatikan paradigma Islam terutama menyangkut hakikat hidup manusia. Hakikat hidup manusia sebagai hamba Allah membawa konsekuensi untuk senantiasa taat kepada syariat Allah SWT. Maka, pendidikan harus diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam yang tangguh, yaitu manusia yang memahami hakikat hidupnya dan mampu mewujudkannya dalam kehidupannya.

Dalam misinya sebagai khalifatullah, manusia berperan memakmurkan bumi. Dengan berbekal syariat Allah manusia diharapkan dapat menata kehidupan manusia dengan benar sesuai kehendak Allah serta dengan penguasaan sains dan teknologi, manusia diharapkan dapat mengambil manfaat sebaik-baiknya dari sumberdaya alam yang ada. Karenanya, pendidikan Islam disamping untuk membentuk kepribadian Islam, juga harus diarahkan untuk membekali pemahaman terhadap tsaqofah Islam dan penguasaan sains dan teknologi yang mumpuni. Jadi, pendidikan dalam pandangan Islam harus merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi.

Adapun tujuan pendidikan dalam Islam adalah suatu kondisi yang menjadi target dari proses-proses pendidikan termasuk penyampaian ilmu pengetahuan yang dilakukan, diantaranya: Pertama, untuk membentuk kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) yaitu dengan tiga langkah: 1. menanamkan aqidah Islam dengan metode yang menggugah akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan. 2. mendorong untuk senantiasa menegakan bangunan cara berfikir dan prilakunya di atas aqidah dan syariah Islam yang telah menghunjam kuat dalam hatinya. 3. mengembangkan kepribadian dengan cara bersungguh-sungguh mengisi pemikiran dengan tsaqofah Islamiyyah dan mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupannya dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Kedua, menguasai tsaqofah (wawasan) Islam. Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai (menggagas pendidikan Islam. Muhammad Ismail Yusanto,dkk).

Pelaksanaan pendidikan Islam di sekolah di masa kejayaan Islam, berdasarkan sirah Rasul dapat dideskripsikan sebagai berikut: kurikulum pendidikan didasarkan pada aqidah Islam, mata pelajaran dan metodologi pendidikan untuk penyampaian pelajaran seluruhnya disusun sejalan dengan asas aqidah Islam, tujuan pendidikannya merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan Islam yang sesuai dengan tingkatan pendidikannya, sejalan dengan tujuan pendidikannya waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam diberikan setiap minggu dengan proporsi yang disesuaikan dengan waktu pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan), dll.(menggagas pendidikan Islam. Muhammad Ismail Yusanto,dkk).

Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyatnya yang wajib dipenuhi. Penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah/negara. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Rasulullah saw bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Seorang penguasa dalam Islam berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya dan orang-orang yang digaji untuk mendidik. Sehingga akan tercipta pendidikan yang berkualitas dan gratis.

Dalam Islam pendidikan gratis dan negara  wajib memberikan fasilitas pendidikan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga dapat mencetak SDM yang unggul yang dibiayai oleh kas/keuangan negara (Baitul Mal), sumber-sumber penerimaan negara yang bersifat tetap yaitu dari: harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah; harta milik umum; harta milik negara; ‘usyr; khumus rikâz; barang tambang (emas, minyak dan gas); dan zakat. Dengan seluruh sumber di atas, negara pada dasarnya akan mampu membiayai pendidikan bagi seluruh warga negara dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi baik warga muslim maupun non muslim. Allahuakbar!

*Penulis: Adriansah (Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus STKIP Kampus Purwakarta)

Pemimpin Yang Ideal Dalam Perspektif Islam*

“Celebrity Politics” itulah sebutan kepada artis atau public figure yang terjun ke dunia perpolitikan saat ini. “Celebrity Politics” mulai dikenal dalam terminologi Ilmu Politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia politik, bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara. Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.

Akhir-akhir ini sedang marak pembicaraan tentang Gayus Tambunan pelaku makelar pajak dan yang tidak kalah menarik untuk disimak yakni Julia Perez “nyalon” sebagai Wakil Bupati Pacitan. Tren artis terjun di kancah legislatif menjadi wakil rakyat (anggota DPR), ternyata diikuti tren di kancah eksekutif. Setelah Dede Yusuf yang menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat, dan kabar Ayu Azhari mantan bintang film panas  Indonesia yang mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Sukabumi, kini muncul kabar menghebohkan lagi. Julia Perez (Jupe), artis yang sering tampil seksi di sejumlah acara infotainment dan membintangi film/komedi panas ini kabarnya dipinang oleh seorang calon Bupati Pacitan, Jawa Timur dalam Pilkada Pacitan untuk periode kepemimpinan 2010-2015. Entah apa orientasinya, Julia Perez bisa dipinang sebagai calon wakil bupati dan didukung koalisi delapan partai politik.

JUPE (Julia Perez) artis seksi usia 29 tahun yang dikenal sebagai artis yang sering tampil seksi di sejumlah acara infotainment dan membintangi film/komedi panas dan pelantun lagu Belah Duren  itu mulai menyiapkan diri untuk terjun ke panggung politik bersaing dengan calon-calon lainnya. Julia Feres seperti dikutip JPNN berjanji akan meninggalkan dunia intertainment jika terpilih sebagai Bupati Pacitan nanti . Walaupun ia belum tahu banyak tentang Pacitan , artis yang membintangi film Mau Dong itu tetap bertekad mencalonkan diri sebagai Bupati . Ia banyak belajar tentang daerah tersebut karena ia ingin memajukan Pacitan .( Sumber JPNN, Infosketsa, Dokumentasi ).

Kalau kita melihat lebih jauh lagi tentang maraknya artis yang terjun ke dunia perpolitikan kita akan bertanya Mengapa belakangan ini muncul fenomena yang seperti ini? Kalau kita cermati ada tiga penyebabnya: Pertama; Bagi partai tentunya ini sebagai sarana untuk meraih dukungan suara, karena calon yang mereka dukung ada artisnya dan juga bisa menghemat biaya kampanye. Kedua; Politik ‘coba-coba’. Dengan memanfaatkan ketenaran, mereka coba-coba dengan harapan siapa tahu menang. Karena biasanya masyarakat akan memilih orang yang mereka kenal. Ketiga; Jumlah artis di negeri ini kian bertambah, hal ini menyebabkan persaingan diantara mereka semakin ketat. Artis-artis senior dan baru namun dari sisi keterkenalan yang semakin redup akhirnya mereka mencalonkan diri jadi penguasa dalam rangka mencari tempat baru untuk mengaktualisasi diri.

Namun yang menjadi pertanyaan lagi bagi kita, kenapa banyak artis yang diusung oleh partai politik tertentu seringkali menang. Ada dua hal penyebabnya: Pertama; Adanya kejenuhan yang dihadapi oleh masyarakat mengingat para kandidat yang ada tidak ada yang mereka kenal atau baru muncul pada saat menjelang Pilkada. Jadi susah bagi masyarakat menentukan pilihan karena sepak terjang para kandidat yang muncul tidak mereka ketahui. Kedua; Kegagalan Partai politik. Kegagalan ini dibagi dua yaitu kegagalan menciptakan kader dan kegagalan membentuk kesadaran politik masyarakat. kegagalan menciptakan kader dalam artian tidak memiliki calon-calon pemimpin yang berkualitas hasil didikan partai dari sejak kecil, hal ini berakibat pada ‘sistem comot’ orang-orang tertentu yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sedangkan kegagalan membentuk kesadaran politik masyarakat adalah masyarakat tidak tercerdaskan dengan kondisi negeri mereka sendiri sehingga mereka tidak bisa mengambil sikap yang terbaik. Sikap memilih penguasa yang akan memimpin mereka. Kesadaran politik hanya bisa didapatkan dengan cara melakukan pendidikan politik. Misalnya, Kaderisasi, diskusi-diskusi yang sifatnya berkesinambungan.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa ketika maraknya kalangan artis yang mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin di negeri kita ini tidak ada tolak ukur yang dijadikan standar yang jelas bagaimana pemimpin yang ideal. Oleh karena itu sebagai mahasiswa muslim dan kaum intelektual sudah selayaknya kita mengetahui bagaimana pemimpin yang ideal itu, kami Lembaga Dakwah Kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (LDK STKIP) Kampus Purwakarta mengajak semua komponen kampus (Pimpinan, Staf Tata Usaha, dosen, Mahasiswa, dll) untuk mengetahui bagaimana Pemimpin yang ideal dalam perspektif Islam.

Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian serta yang senantiasa kalian doakan dan mereka pun selalu mendoakan kalian. (HR Muslim).

Syarat-syarat Khalifah/Pemimpin yang Ideal dalam perspektif Islam

Dalam Islam pemimpin disebut sebagai khalifah, dalam diri Khalifah/pemimpin wajib terpenuhi tujuh syarat sehingga ia layak menduduki jabatan Negara. Tujuh syarat tersebut merupakan syarat in‘iqâd (syarat legal).

Pertama: Khalifah/pemimpin harus seorang Muslim. Sama sekali tidak sah Kholifah diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib pula menaatinya, karena Allah SWT telah berfirman: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orangorang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Kedua: Khalifah/pemimpin harus seorang laki-laki. Khalifah tidak boleh seorang perempuan, artinya ia harus laki-laki. Tidak sah Khalifah seorang perempuan. Hal ini berdasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Bakrah yang berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. Bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. (HR al-Bukhari).

Ketiga: Khalifah/pemimpin harus balig. Khalifah tidak boleh orang yang belum balig. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasul saw. pernah bersabda: Telah diangkat pena (beban hukum, peny.) dari tiga golongan: dari anak-anak hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh. (HR Abu Dawud).

Keempat: Khalifah/pemimpin harus orang yang berakal. Orang gila tidak sah menjadi khalifah. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw. (yang artinya): Telah diangkat pena dari tiga golongan …, yang di antaranya disebutkan: orang gila yang rusak akalnya hingga ia sembuh. Orang yang telah diangkat pena darinya bukanlah mukallaf. Sebab, akal merupakan manâth attaklîf (tempat pembebanan hukum) dan syarat bagi absahnya aktivitas pengaturan berbagai urusan, sedangkan Khalifah jelas mengatur berbagai urusan pemerintahan dan melaksanakan penerapan beban-beban syariah.

Kelima: Khalifah/pemimpin harus seorang yang adil. Orang fasik tidak sah diangkat sebagai khalifah. Adil merupakan syarat yang harus dipenuhi demi keabsahan Kekhilafahan dan kelangsungannya. Sebab, Allah SWT telah mensyaratkan— dalam hal kesaksian, ed.—seorang saksi haruslah orang yang adil. Allah SWT telah berfirman: ….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian…. (TQS ath-Thalaq [65]: 2).

Keenam: Khalifah/pemimpin harus orang merdeka. Sebab, seorang hamba sahaya adalah milik tuannya sehingga ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Tentu saja ia lebih tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan orang lain, apalagi kewenangan untuk mengatur urusan manusia.

Ketujuh: Khalifah/pemimpin harus orang yang mampu. Khalifah haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah Kekhilafahan. Sebab, kemampuan ini merupakan keharusan yang dituntut dalam baiat. Orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, yang berdasarkan keduanyalah ia dibaiat.

*Penulis: Adriansah (Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus STKIP Kampus Purwakarta)

Tanpa UU BHP Pendidikan Di Indonesia Akan Lebih Maju*

Akhir-akhir ini seperti yang kita ketahui bahwa banyak yang pro-kontra dengan adanya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), sebagian orang menilai dengan adanya UU BHP ini bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi, seperti yang disampaikan oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, ”Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08).

Namun sebagian lagi menilai UU BHP ini justru bertentangan dengan Pembukaan UUD 45 dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa “negara bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pasal 31 ayat (1) menyatakan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ayat (2) “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” . Dan kenyataannya ketika pemerintah mencoba untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam membiayai sektor pendidikan maka yang terjadi adalah pendidikan menjadi semakin mahal. Disadari atau tidak bahwa pendidikan menjadi komoditi yang sangat potensial untuk dikomersilkan, dan tentunya berbisnis dalam dunia pendidikan tidak akan rugi tetapi sangat menguntugkan.

Kemudian untuk memuluskan langkah mengkomersialkan dunia pendidikan bermula lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dimana dalam UU Sisdiknas mengamanatkan setiap satuan pendidikan harus otonom, dan dari rahim UU Sisdiknas ini lahirlah UU BHP ( UU Badan Hukum Pendidikan). UU BHP nantinya diharapkan menjadi fasilitator bagi lembaga perguruan tinggi di Indonesia untuk berkompetisi dalam meningkatkan kinerja baik dalam tataran nasional maupun internasional. Artinya, dengan UU BHP sebagai payung hukum pendidikan nasional diharapkan mampu berfungsi jadi rule of the game dalam konteks persaingan antar PTN dan PTS di seluruh Indonesia, sehingga yang keluar sebagai pemenang bisa tampil sebagai world-wide higher education institutions berdasarkan syarat dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.

Kemudian pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Sehingga peraturan tersebut sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi. “Menyatakan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia tahun 1945,” kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, ketika membacakan putusan uji materi UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di ruang sidang pleno MK, Rabu (31/03). Mahkamah menilai, kehadiran UU BHP justru melarang keberadaan perserikatan dan perkumpulan di bidang penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggara pendidikan harus dalam satu bentuk badan hukum tertentu saja. Hal ini jelas-jelas melanggar UUD 1945. “Sistem pendidikan nasional seharusnya memberi ruang kepada potensi yang masih eksis sebagai modal nasional dalam penyelenggaraan pendidikan,” ujar Hakim Anggota, Ahmad Fadlil Sumadi.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tidak relevan untuk diterapkan saat ini. “Kita telah batalkan UU BHP,” tegas Mahfud ketika berada di Surabaya, Senin (5/4). Secara prinsip ada dua hal yang dilanggar oleh undang-undang yaitu pertama adalah penyeragaman. Setelah dikaji hanya 20 Universitas yang layak untuk diseragamkan dan hanya tujuh universitas yang sudah siap diseragamkan. Padahal di Indonesia terdapat 6.600 perguruan tinggi. “Yang tidak siap jangan dipaksa, seperti yayasan di pesantren, ya biarkan saja jangan dipaksa menjadi BHP,” ungkap guru besar UII Yogyakarta ini. Prinsip kedua yang dilanggar undang-undang ini menurut Mahfud MD adalah adanya pengalihan peran dari pemerintah ke masyarakat. “Ini kan pengalihan beban, kasihan masyarakat, karenanya MK membatalkan itu,” pungkasnya. (tempointeraktif.com, 5/4/2010).

Dari sekilas paparan di atas, jelas bahwa liberalisasi di bidang pendidikan semakin hari semakin dalam dan semakin merambah sampai ke ranah perguruan tinggi yang saat ini sedang kita lalui dengan adanya UU BHP tersebut dan imbasnya adalah bagi kita yang berada di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) kenapa demikian? Pertama, biaya pendidikan mahal meskipun Pendanaan sudah ditentukan Pada pasal 41 nomor 4 dinyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Dalam pasal ini menyatakan bahwa sumber operasional PTN/PTS bersumber dari masyarakat 33%, pemerintah 33% dan BHP (PTN/PTS) 33%, meskipun demikian tetapi tidak ada batasan mengenai besaran anggaran belanja tersebut. Ini juga bermasalah. PTN/PTS bisa saja melambungkan anggaran belanja operasional per tahun. Akibatnya biaya pendidikan akan meroket. Kedua, Komersialisasi kampus. Kampus tidak lagi sebagai sarana publik. Setiap jengkal tanah, bangunan, dan fasilitas yang lainnya akan bernilai ekonomis. Hal ini dilakukan karena minimnya pemasukan (dana) bagi PTN/PTS (BHP). Sedang mereka dituntut membiayai sepertiga dari anggaran belanja. Jika ini terjadi, maka tidak ada bedanya PTN/PTS dengan perusahan-perusahan yang berorentasi pada profit.

Karena Itu, kami Lembaga Dakwah Kampus STKIP memandang dalam perspektif Islam bahwa dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batubara, dan kekayaan alam yang lainnya dikelola oleh negara secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Tanpa UU BHP Pendidikan Di Indonesia Akan Lebih Maju khususnya di Purwakarta oleh karena itu sudah saatnya kita sebagai mahasiswa Muslim di Kampus STKIP Purwakarta ini menolak segala bentuk Liberalisasi khususnya di bidang Pendidikan (UU BHP), serta kembali kepada Islam karena hanya dengan sistem Pendidikan Islam kita dapat menikmati sekolah gratis berdasarkan kurikulum pendidikan yang berlaku serta mengikuti strategi dan tujuan pendidikan Islam (Politik Pendidikan Islam, Ad-Dustur, Nizhomul Islam) dan segala fasilitas pendidikan yang memadai terpenuhi dan tentunya kita akan semakin cerdas dan ber-Intelektual yang tinggi sehingga tercapainya Sumber Daya Manusia yang unggul dan berkualitas.

Wahai kaum Intelektual sudah saatnya kita menerapkan aturan Allah SWT di muka bumi ini karena tidak ada aturan yang layak untuk mengatur kehidupan di dunia ini kecuali aturan Allah SWT yakni Islam. Sebagaimana Firman-Nya:

Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).

*Penulis: Adriansah (Ketua Umum Lembaga Dakwah Kampus STKIP Purwakarta)

Bersungguh-Sungguh dalam Ketaatan

Tahukah kita, jantung yang ada dalam tubuh adalah alat pemompa yang amat menakjubkan. la bekerja terus tanpa henti sejak minggu ke-4 dari kehidupan manusia (di dalam rahim) hingga kernatiannya. Jika seseorang berumur 60 tahun, berarti selama itulah jantungnya tidak pernah berhenti bekerja memompa darah. Adakah pompa di dunia ini yang tahan bekerja selama 60 tahun tanpa henti?.

Jantung manusia beratnya tidak lebih dari 250 gram. la berdenyut 70 kali permenit atau 100 ribu kali perhari. la menyemprotkan darah sebanyak 5 liter permenit atau 1.5 juta gallon pertahun—meskipun darah yang disemprotkan adalah yang itu-itu juga. Alat pemompa yang menakjubkan ini mengirimkan darah ke selaput nadi, urat syaraf, dan pembuluh darah, yang jika semua itu diletakkan secara berurutan pada sebuah garis lurus maka panjangnya bisa mencapai 60-100 ribu mil!.

Tahukah kita, Galaksi Bimasakti hanyalah salah satu galaksi (gugusan bintang) di dalam sistem tatasurya kita. Galaksi Bimasakti terdiri dari sekitar 200 miliar bintang. Para astronom memperkirakan bahwa di alam raya ini terdapat miliaran galaksi, dengan sekitar 1.000 triliun planet dan bintang. Setiap bintang atau galaksi berjalan pada orbitnya dengan kecepatan kira-kira 65.000 km perdetik. Di antara bintang-bintang itu ada yang berukuran ribuan kali besar matahari, yang jaraknya dari bumi adalah jutaan tahun cahaya. Satu tahun cahaya kira-kira 9.416 miliar km atau sekitar 10.000 tahun!. Itulah di antara tanda-tanda kemahakuasaan Allah. Itulah ayat-ayat kawniyyah-Nya. Semua ayat-ayat kawniyyah itu pada akhirnya meneguhkan klaim Allah SWT sendiri:

Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya dengan main-main (QS al-Anbiya’ [21]: 16). Benar, Allah SWT tidak pernah bermain-main. Sebagaimana kata Einstein, Tuhan tidak sedang bermain dadu ketika menciptakan jagat raya ini. Artinya, Allah menciptakan seluruh jagad raya ini dengan sungguh-sungguh.

Allah SWT juga tentu tidak main-main ketika menurunkan ayat-ayat qawliyyah-Nya., yakni al-Quran. Al-Quran tidak lain adalah kalam (firman) Allah, Zat Yang Mahakuasa. Di dalamnya tidak secuil pun cacat-cela, yang membuktikan bahwa al-Quran— sebagaimana klaim-Nya—benar-benar berasal dari sisi-Nya:

”Tidakkah kalian memperhatikan al-Quran? Seandainya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka bakal menjumpai banyak pertentangan di dalamnya” (QS an-Nisa’ [4]: 82).

Jika Allah tidak pernah main-main dengan ayat-ayat kawniyyah-Nys. (penciptaan alam semesta), juga dengan ayat-ayat qawliyyah-Nya. (al-Quran), kita mendapati manusia malah sering ‘bermain-main’ dan mempermainkan ayat-ayat Allah. Ketika Allah tidak pernah main-main menciptakan jagad raya ini, termasuk manusia, kita mendapati banyak manusia justru sering ‘bermain-main’ dengan kehidupannya; tidak serius dan bersungguh-sungguh menjalani tugasnya sebagai hamba Allah, yakni beribadah kepada-Nya dalam makna yang seluas-luasnya. Padahal bukankah ibadah (pengabdian kepada Allah) merupakan raison d’etre penciptaan manusia? Allah SWT berfirman:

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Sebagai Muslim, kita tentu patut meneladani Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya, yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan serius dan sungguh-sungguh, tanpa pernah bermain-main; terutama dalam urusan ibadah, dakwah, dan jihad. Dalam urusan ibadah, kita tahu, Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling banyak melakukannya. Nabi saw. tidak pernah meninggalkan shalat malam, bahkan hingga kakinya sering bengkak-bengkak karena lamanya berdiri ketika shalat. Nabi pun orang yang paling banyak berpuasa, bahkan puasa wishal, karena begitu seringnya Beliau tidak menjumpai makanan di rumahnya. Nabi juga adalah orang yang paling banyak bertobat, tidak kurang dari 100 kali dalam sehari, padahal Beliau adalah orang yang ma ‘shum (terpelihara dari dosa) dan dijamin masuk surga.

Meski tidak sehebat Nabi saw., para Sahabat adalah orang-orang yang paling istimewa ibadahnya setelah Beliau, tidak ada yang melebihi mereka. Mereka, misalnya, adalah orang-orang yang paling banyak mengkhatamkan al-Quran, paling tidak sebulan sekali, bahkan ada yang kurang dari itu. Menurut Utsman bin Affan ra., banyak Sahabat yang mengkhatamkan al-Quran seminggu sekali. Mereka antara lain Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit. Ustman ra. sendiri sering mengkhatamkan al-Quran hanya dalam waktu semalam. Itu sering ia lakukan dalam shalat malam.

Semua itu menunjukkan bahwa Nabi saw. dan para Sahabat adalah orang-orang yang senantiasa serius dan bersungguh-sungguh dalam urusan ibadah; mereka tidak pernah main-main.

Bagaimana dengan dakwah mereka? Jangan ditanya. Nabi saw. dan para Sahabat adalah orang-orang yang telah menjadikan dakwah sebagai jalan hidup sekaligus ‘jalan kematian’ mereka. Dengan kata lain, mereka hidup dan mati untuk dakwah. Sebagian besar usia mereka, termasuk harta dan jiwa mereka, diwakafkan di jalan dakwah demi menegakkan kalimat-kalimat Allah.

Bagaimana dengan jihad mereka? Para Sahabat, sebagaimana sering diungkap, adalah orang-orang yang mencintai kematian (di jalan Allah) sebagaimana orang-orang kafir mencintai kehidupan. Amr bin Jamuh hanyalah salah seorang Sahabat, di antara ribuan Sahabat, yang mencintai kematian itu.

Dikisahkan, ia adalah orang yang sering dihalang-halangi untuk berjihad oleh saudara-saudaranya karena kakinya pincang. Rasul pun telah membolehkan-nya untuk tidak ikut berjihad karena ‘udzur-nya. itu. Namun, karena keinginan dan kecintaannya yang luar biasa pada syahadah (mati syahid), ia terus mendesak Rasul agar mengizinkannya berperang. Akhirnya, Rasul pun mengizinkannya. Dengan penuh kegembiraan, Amr pun segera berlari menuju medan perang, berjibaku dengan gigih melawan musuh, hingga akhirnya terbunuh sebagai syahid.

Itulah secuil fragmen keseriusan dan kesungguhan salafash-shalih dalam menjalani kehidupannya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita serius dan bersungguh-sungguh dalam hidup ini? Ataukah kita masih mengisi hidup ini dengan main-main?

Na’udzu billah min dzalikl {]

Bangkit Setelah Putus Pacaran

Assalamu’alaikum,
Teh Cicin, Saya ingin berubah lebih baik dengan mengkaji Islam. Tapi, terus terang sampai saat ini masih sulit untuk menghilangkan bayang-bayang teman dekat (si-dia) dari benak saya. Padahal saya sudah putus. Tolong beri saya masukan. Terima kasih.

X. Bogor.

Wa’alaikumsalam Wr Wb.

Adik X yang baik,

Alhamdulillah, bersyukurlah senantiasa kepada Allah SWT. Karena kasih dan sayang-Nya, Adik ditunjukan jalan kebenaran. Karena keyakinan dan kekuatan dari-Nya, Adik mampu memutuskan pilihan terbaik menuju kemuliaan hidup bersama Islam. Dengan berupaya bersungguh-sungguh meyakini kebenaran atas firman Allah dalam QS. Al-Israa [17] : 32 dan QS. Al-Ahzab [33]: 35.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al-Israa [17]: 32)

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (TQS. Al-Ahzab [33]: 35)

Semoga Allah senantiasa menjaga adik dalam keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Dengan senantiasa membenaran janji-Nya.

Adik X yang baik,

Jika teteh boleh merenda kata, Teteh ingin sedikit mengurai makna ‘rasa’ yang adik alami saat ini. Sesungguhnya kesulitan menghilangkan bayang-bayang teman dekat (si-dia) dalam benak, merupakan buah atas tanggapan rangsang yang kita indera. Kata kuncinya ada pada ‘tanggapan’ dan ‘rangsang’. Keduanya kemudian menghasilkan satu kesimpulan ‘rasa’ gundah atau gelisah. Jika gejolak tersebut berkenaan dengan ‘rasa’ terhadap lawan jenis, maka dalam bahasa psikologi hal ini dinamakan gejolak naluri seksual (Gharizah an-nau’).

Pada prinsipnya, gejolak ‘rasa gundah atau gelisah’ itu akan selalu hadir, jika kita terus menghadirkan rangsang atau stimulus yang membangkitkannya. Rangsang yang teteh maksud bukan semata dalam wujud teman dekat adik yang secara fisik ada dihadapan mata. Segala hal yang mampu menjadikan adik teringat kepadanya, misalnya berbagai hadiah yang pernah diberikan, surat, sms-sms, foto, lagu kesukaan, atau kilatan-kilatan ingatan adik tentanganya; merupakan bagian dari ‘rangsang’ atau ‘stimulan’ yang secara langsung dapat membangkitkan gejolak naluri nau’ tersebut. Hal ini lah yang mungkin teteh kira menjadikan diri adik sulit melupakan bayang-bayang teman dekat tersebut.

Disamping itu, faktor dari dalam lain yang biasanya menjadikan seseorang sulit melupakan ingatan atau bayang-bayang seseorang yang pernah dekat dengannya adalah karena sedikitnya aktivitas berpikir yang ia lakukan. Sedikitnya aktivitas berpikir itu tidak melulu diidentikan dengan makna ‘melamun’ atau ‘menyendiri’. Hal tersebut terjadi karena kita tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang mendorong kita lebih produktif dalam berpikir. Artinya, dengan adanya berbagai kesibukan yang kita lakukan, pada dasarnya dapat menjadi upaya kita dalam mengalihkan gejolak naluri nau’ tersebut. Apalagi pilihan kesibukannya adalah untuk mencari ridlo Allah dengan mengkaji Islam lebih dalam. Ia tidak saja mampu mengalihkan, tetapi mampu menjadikan dirinya mulia di hadapan Allah dan manusia (TQS.Muhammah [47]: 7 ). Sebagaimana pilihan adik saat ini, insyaAllah.

Adik X yang baik,

Berubah, ke arah lebih baik atau semakin buruk, pada hakikatnya memang tidak mudah. Sulit dan pasti membutuhkan pengorbanan. Seseorang yang ingin menjadi idola atau artis di TV saja membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, dan finansial untuk mewujudkannya. Apalagi perubahan itu menuju lebih baik untuk menegakkan kebenaran, guna membuktikan keimanan kita kepada Allah. Bisa jadi bukan semata sulit, tapi juga sangat berat. Karena ia harus menghadapi mereka yang menyukai kemaksiatan dan keburukan dalam jumlah yang jauh lebih banyak, dari pada mereka yang menyukai kebenaran. Mengapa? Karena lingkungan mendukung kemaksiatan tersebut, dengan memberikan berbagai sarana dan fasilitas keberadaannya. Di mall, di kampus, di kos-kos-an, di jalan, di tempat makan, di warnet, dsb; dapat kita saksikan secara langsung aktivitas atau aksi-aksi gaul bebas teman-teman kita yang tak mampu membendung gejolak naluri nau’ mereka. Teguran demi teguran dari mereka yang peduli dan menghargai kemuliaan seorang muslimah, seolah hanya menjadi angin lalu yang menggelitik telinga. Tak jarang, mereka yang berupaya bertahan untuk menjaga dirinya, akhirnya tetap tak kuasa menahan godaan lawan jenisnya. Bahkan pernah tersiar kabar, bahwa ada diantara mereka yang pada awalnya menjadi agen kebaikan dan kebenaran, harus bertekuk pula oleh jeratan pergaulan bebas di lingkungannya. Tak kuasa menahan gejolak naluri nau’, tergerus liberalisasi pergaulan, hingga akhirnya memilih mundur sebagai agen kebaikan, naudzubillah.

Adik X yang baik,

Oleh karenanya, upaya lain berikutnya yang harus kita lakukan untuk menjaga diri, khususnya dalam menghadapi persoalan adik saat ini, adalah dengan mencari lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang mampu menjaga kita dari kemaksiatan, dimana orang-orang yang ada di dalamnya senantiasa mengingatkan kita dalam kebaikan dan kebenaran, serta saling menjaga satu sama lain dalam kemuliaan (mulai dari kos-kos-an, pilihan organisasi, maupun pilihan teman-teman dalam bergaul).

Maka dengan tinggal dalam lingkungan kos-kos-an yang individualis, teman-teman yang bebas dalam bergaul dengan lawan jenis, dan lingkungan organisasi yang bebas; merupakan faktor-faktor dari luar yang mendukung secara kuat, mengapa akhirnya seseorang tidak mampu menghalau gejolak naluri nau’-nya.

Demikianlah masukan teteh atas keresahan yang adik rasakan saat ini. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kekuatan kepada adik untuk selalu berada dalam kebenaran dan kemuliaan Islam. Sesungguhnya segala kebenaran datang dari Allah. Wallahu’alam. Salam Ukhuwah, Salam Perjuangan!

Laman Berikutnya »